My photo
Um escritor, um poeta, um aventureiro,

Wednesday 30 September 2009

Buku Harian Seorang Negarawan 6

Negara Timor-Timur terlalu kecil untuk dipecah-pecah. Tahun 75 terjadi perang saudara. Banyak orang meninggal selama perang saudara. Tahun 99 terjadi perang antara kelompok kemerdekaan dan pendukung integrasi. Banyak orang meninggal di tahun 99. Tahun 2006, kembali terjadi perpecahan diantara orang Timor-Timur, antara Firaku dan Kaladi. Banyak orang yang meninggal.

Semua kejadian ini adalah tanggung jawab generasiku. Generasiku yang harus mempertanggungjawabkan semua kejadian ini. Karena generasiku tidak berhasil dipersatukan, akhirnya rakyatlah yang menjadi korban. Generasiku dikategori “experts” tapi bila bicara masalah kekuasaan maka semuanya lemah.

Bagaimanapun saya akan berusaha supaya malapetaka yang melanda orang Timor-Timur ditahun 75, 99 dan 06 tidak boleh terulang lagi di tanah airku. Ini adalah sebuah perjanjian. Sebuah perjanjian yang mulia antara saya dengan tuhan dan saya dengan lulik di Timor-Timur.

Tapi, apa itu negarawan? Orang seperti saya bisa menjadi seorang negarawan? Saya mencoba membuka kamus untuk mencari tahu arti dari kata negarawan.

Monday 28 September 2009

Lia Fuan Balun Hodi Hanoin no Hakerek Konaba Ulises Gonçalves





Ulises Gonçalves nebe kostuma bolu naran Uli hanesan klosan Timor wain nebe dedika sira nia isin no klamar ba rai Timor iha loron 12 de Novembro de 1991. Iha tempu nebá, klosan Uli hatene deit maka hakilar lia fuan “Ukun Rasik-an”. Iha tempu nebá, klosan Uli hanesan mós klosan sira seluk, lahatene tan lia fuan seluk. Sira hatene deit maka “Ukun Rasik-an ba rai Timor”. Iha tempu nebá, Uli ho klosan sira seluk hatene deit maka “Mate ka Moris Ukun Rasik-an”.

Oan mane hosi Francisco Gonçalves no Maria Ximenes, Uli kuandu sai hosi uma hodi ba tuir manifestasaun 12 de Novembru de 1991, atu labele halo nia inan-aman laran tauk, hakfodak no triste, entaun nia lahateten ba nia inan-aman katak nia atu ba tuir manifestasaun kontra Indonésia. Iha momentu nebá, Uli sai hosi uma dehan deit ba nia aman nune: “Pai, hau sai lai”.

Kaer ho tersu ida (kor kafe), Uli ho tinan 22 sai hosi uma hodi ba hamutuk ho nia maluk sira seluk (maior parte mesak klosan deit) hodi tuir manifestasaun 12 de Novembru de 1991. Iha momentu nebá, sira lahatene se manifestasaun ne’e atu sai diak ká a’at, se militar Indonésia sei tiru ká lae, se tiru karik entaun tiru ba leten ká tiru hasoru sira nia isin no seluk-seluk tan. Ne’e duni, Uli no klosan sira seluk nebe mate iha 12 de Novembro de 1991 hanesan ema Inosenti.

Lia fuan Ukun Rasik-an oho ema barak. Ema Timor barak maka mate tamba lia fuan Ukun Rasik-an. Barak mate inosenti. Ohin loron, ema sira nebe mate tamba lia fuan Ukun Rasik-an, ita só bele hanoin fila fali deit sira. Uli mate ho kilat musan rua, ida iha fuan ida seluk iha kidan kotuk, iha dadersan 12 de Novembro de 1991.

Tinan 18 liu tiha, Uli nia ruin hetan fila fali iha vala komum iha Hera. (Hamutuk ho Uli hetan total ruin 16 maibe hosi ruin 16 maibe to’o hau hakerek kronika oan ne’e só ruin tolu maka identifikadu ona maka: Uli, Percópio no Venâncio).

Tinan 18 laos loron ida, semana rua, fulan hat ou tinan ida. Imajina, tinan 18 liu bá, sofrimentus hirak maka ita la liu? Esperansa hirak maka ita la iha? Ohh…se karik atu hakerek konaba sofrimentus no esperansa duranti tinan 18 nia laran, hau hanoin suratan mutin oan ne’e sei la to’o atu hakerek bá.

Loron 28 fulan Setembru tinan 2009, tuku hat (oras Timor) Uli nia família no kolega sira, halibur hamutuk iha bairo Bemori hodi simu Uli nia ruin entrega hosi Hospital Guido Valadares.
Hanesan testemunhã mate nebe sei moris nafatin iha memoria, Uli, Percópio, Venâncio no matebiam seluk tan representa matebian 12 Novembro tinan 1991 nian.

Hafoin tiha Uli nia mate, labarik barak maka moris i kontinua lori Uli nia naran iha família lutador ida ne’e.

Kuandu hau primeira vez hare’e hetan Uli nia naran iha jornal portuguêz ida nebe dehan “Ulises Gonçalves nia familia hetan ona nia ruin”, imediatamente hau buka halo kontaktu kedas ho jornalista portuguêz naran João nebe hakerek konaba ida ne’e. Jornalista João hakerek mai hau hodi konta tuir momentu ba hare’e Uli nia ruin.
Liu tiha semana rua, hau konsege hetan Uli nia fotografia. Hau tuur iha komputador nia oin hodi hare’e Uli nia ruin i hau mós tanis hanesan espressaun nebe iha hodi rekorda ami nia tempu infansia no klosan nebe furak iha Timor.

Loron 30 fulan Setembro de 09, Uli nia ruin sei hatama ho “digna” ba rai kuak iha nia uma Bemori.

Hosi do’ok, hau lori hau nia kaben no oan sira, hau lori mós primos no primas hotu nebe do’ok (iha Inglaterra, Portugal, Kuba no Indonésia), lori mós kolegas hotu nia naran hodi hato’o deit kumprimentus i kontinua reza ba Uli no matebiam hotu nia klamar atu bele fo’o nafatin isin diak mai ita hotu. Lia fuan ikus maka “atu ita husik odiu ba kotuk, fo perdaun ba malun hodi hare’e malun diak nafatin”.

Celso Oliveira, Uli nia primo

Saturday 26 September 2009

Buku Harian Seorang Negarawan 5

Hari-hariku penuh kesibukan. Sibuk kerja terutama sibuk mempersiapkan kampanya dan lain-lain.

Kata demokrasi adalah sarapan pagiku, santapan siangku dan jamuan malamku.

Perbedaan yang tajam antara kaya dan miskin semakin nampak. Anak-anak yang kaya dapat menempuh pendidikan disekolah yang mewah, sedangkan anak-anak yang miskin tetap menempuh pendidikan apa adanya.
Seharusnya anak-anak harus dijauhkan dari kekerasaan. Tapi di tanah airku kekerasaan selalu datang dari keluarga sendiri.

Timor-Timur adalah sebuah negara kecil dan miskin diabad XXI. Oleh karena itu Timor-Timur harus menjaga hubungan yang baik dengan Australia dan Indonesia.

Wednesday 23 September 2009

Buku Harian Seorang Nagarawan 4

Malam berlalu, datanglah siang. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Aku tetap tidak berganti apapun. Keinginanku untuk kembali berkuasa tetap ada, tetap menyala.

Disaat seperti ini aku tidak memikirkan tentang mereka yang telah meninggal atas nama kebebasan dan kemerdekaan Timor-Timur. Disaat seperti ini aku tidak memikirkan tentang mereka yang pernah masuk keluar penjara karena Timor-Timur. Disaat seperti ini, aku tidak memikirkan tentang janda-janda dan yatim piatu karena perang di Timor-Timur.
Disaat seperti ini, yang aku pikirkan adalah meraih kembali kekuasaan.

Ketika semua orang berbicara tentang pembangunan, aku dengan sikap arogansiku berbicara tentang kekuasaan.
Ketika semua orang berbicara tentang rekonsiliasi, aku malah membakar api tentang sikap saling bermusuhan. Ketika semua orang memikirkan bagaimana nasib anak-anak kecil, tentang sekolah mereka, tentang tempat mainan mereka, tentang rumah sakit, tentang iklim yang baik dan sehat agar anak-anak itu bisa bertumbuh sehat walafiat jauh dari perang dan sebagainya, aku malah sibuk membakar gejolak orang tua mereka dan para kaum muda agar suatu saat aku bisa kembali berkuasa.

Keadilan belum bisa diterapkan di Timor-Timur karena semua orang sedang memikirkan bagaimana caranya bisa hidup. Selama perang manusia hilang harga diri, jadi paska perang wajar kalau semua orang berpikir tentang diri mereka sendiri atau tentang keluarga mereka. Jika semua orang sudah memiliki hidup yang baik dan tenang, maka keadilan dapat diterapkan.

Kasus demi kasus bermunculan di media massa tentang berbagai perkembangan baru di Timor-Timur, tentang gereja katolika, tentang prostituta, tentang ketidakadilan, tentang pemberontakan dan lain-lain.

Saat seperti ini, bila dibiarkan munculnya gerakan pemberontak baru, maka kelompok itu akan muncul dengan peralatan yang teramat cangih dan estrategis yang luar biasa.

Tuesday 22 September 2009

Buku Harian Seorang Negarawan 3

Negaraku masih dalam bahaya. Generasiku masih tetap memiliki ambisi untuk menguasai tanah leluhurku. Aku tidak takut menentang siapa saja yang mencoba menutup jalan bagi ambisiku. Ambisiku teramat besar. Saya ingin kembali menjadi seorang negarawan di Timor Timur.

Negaraku masih dalam bahaya. Karena generasiku masih hidup, generasiku masih berkuasa dan tetap berkuasa. Saya tidak peduli dengan generasi muda atau generasi yang akan datang. Yang saya peduli adalah kekuasaun generasiku.

Negaraku masih dalam bahaya. Karena perpecahan generasiku, telah mengakibatkan generasi muda dan masyarakat umum pecah belah. Kita semua adalah pejuang kemerdekaan jadi saya tidak mau kalah dengan yang lain. Jika anda menyatakan diri anda adalah seorang pemimpin, maka akupun akan menyatakan hal yang sama.

Negaraku masih dalam bahaya. Karena ketidak adanya persatuan generasiku. Aku bilang, persetan dengan rakyatku yang bodoh, tetap bodoh dan akan terus bodoh. Yang penting bagiku adalah kesenanganku dan kekuasaanku?

Saya tahu bahwa negaraku masih dalam bahaya. Oleh karena itu, saya harus membuat sesuatu untuk menyelamatkan negaraku dari bahaya. Karena saya lahir dari negaraku. Komitmenku adalah saya harus menyelamatkan negaraku dari bahaya dan menjadi seorang negarawan yang baik dan terhormat dimata masyarakat tercinta Timor-Timur.
Tapi bagaimana?

Monday 21 September 2009

Buku Harian Seorang Negarawan 2

Ketika perang terjadi di tanah Lorosa'e, saya berada di luar negeri. Secara fisik saya tidak mengalami penderitaan, tetapi secara psikologis saya sangat menderita.

Selama 24 tahun saya tidak tahu apa yang terjadi di tanah leluhurku karena jarak yang jauh dan kurangnya perlengkapan telekomunikasi. Yang saya dengar adalah pelanggaran HAM di Timor-Timur.

Selama 24 tahun, yang saya tahu adalah keluargaku hidup bahagia, memiliki pt, cv dan perusahan lainnya. Mereka menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Tidak ada seorangpun dari keluargaku yang mengikuti demonstrasi menentang kehadiran Indonesia di Timor-Timur. Ketika para pemuda Timor-Timur mengelar aksi mogok makan, suaka politik dan aksi demonstrasi lainnya di Timor-Timur dan Indonesia, keluargaku mencuri kesempatan untuk memperkaya diri. Ini adalah sebuah realitas.

Terkadang saya duduk sendiri dan merenung...kemudian saya bilang pada diri sendiri bahwa seandainya Indonesia tidak melepaskan Timor-Timur, dengan pasti keluargaku menjadi terkaya di Timor-Timur. Keluargaku ohhhh keluargaku.

Saya dengan sikap arogansiku sering menentang Gereja Katolik, para klandestin, para sarjana cetakan Indonesia. Dengan sombong saya panggil mereka kotor, rambut panjang, supermi dan lain-lain.

Buku Harian Seorang Negarawan 1

Saya kembali menulis di Laptopku tentang ambisi-ambisiku. Laptopku bermerek Dell. Kubelikan dari uang korupsi selama saya menduduki jabatan sebagai negarawan di Timor-Timur.

ketika saya masih berkuasa, saya merasa bahwa saya berada di atas segala-galanya. Saya menganggap semua masyarakat Timor-Timur adalah kotor, buta huruf, miskin dan bodoh.

Saya menganggap mereka yang ikut memperjuangankan kemerdekaan Timor-Timur sekedar mengisi impian-impian mereka. Mereka sebenarnya bukan kaum pejuang yang mulia tapi mereka memiliki ambisi-ambisi tertentu selama berjuang.

Pejuang yang mulia adalah saya dan kaum-kaum intelektual lain dari partaiku, terutama mereke yang lari ke luar negeri ketika tanah Timor-Timur diduduki secara ilegal oleh pasukan Indonesia pada bulan Desember tahun 1975.

Keluargaku termasuk orang kaya di Timor-Timur. Walaupun mereka tidak ikut memperjuangkan kemerdekaan Timor-Timur, tapi bila saya menjadi seorang negarawan, maka mereka semua akan mendapat bagian dari kekayaan Timor-Timur.

Ketika saya sebagai negarawan, saya lupa akan keadilan dan kebenaran. Yang saya pikirkan adalah bagaimana saya bisa memimpin selama 50 tahun.

Hari ini saya puas dengan kedudukanku, walaupun kadang kala saya stress bila mendengar isu-isu yang tidak sehat tentang kesombonganku, arogansiku, sok tahuku dan lain-lain.

Timor-Timur merdeka bukan untuk mereka yang ikut memperjuangkan kemerdekaan tapi kemerdekaan Timor-Timur hanya untuk partaiku, keluargaku, teman-temanku, kesombonganku dan ambisiku.

Thursday 17 September 2009

Paktu Unidadi Nasional sei importanti liu Mosaun de Sensura no Eleisaun Antesipada

Oras ne'e daudaun, ema Timor komesa senti filafali moris iha HAKMATEK nia laran, hodi rekupera filafali sira nia "oportunidadi no dignidadi" nebe lakon duranti funu iha Timor. Maibe, iha momentu hanesan ne'e, sempre mosu hanoin oi-oin ou naksalak balun nebe sei halo filafali ema Timor moris iha inserteza, tauk no deskonfiansa ba nai ulun politiku sira. Ne'e duni, se ita la kuidadu, bele estraga filafali ita nia moris. Tamba, primeiru, kontinua ejisti diverjensia iha ita nia nai ulun sira. Maioria hosi lideransa 75, sei kontinua iha interesse atu hatudu sira nia power politikamente. Segundu, exemplu konkretu maka Mari Alkatiri, SG Fretilin, la "puas" hare'e PM Xanana Gusmao lidera governu AMP. MA hare'e PM XG hanesan "fatuk mutin ida iha hela deit sapatu ida nia laran (batu kerikil dalam sepatu)". Tamba ne'e maka desde 2007, eis-PM MA halo tentativa oi-oin hodi sobu governu AMP. La konsege hatun PM XG nia governu, agora aproveita kazu libertasaun milisia nia bo'ot Martenus Bere liu ba, hodi prepara Mosaun de Sensura hanesan alternativa hodi bele obriga PR RH halo Eleisaun Antesipada. Komiku.

Momentu hanesan ne'e, hau husu ba hau nia-an: Tansa maka libertasaun milisia nia bo'ot konsege doko instituisaun Estadu, Igreja Katolika no sociedadi civil iha Timor? Tansa maka ema ida deit (ema Indonesia) bele halo ita nia instituisaun Estadu nakdoko? Indonesia la hamnasa ita? Klaru, iha kazu hanesan ne'e, Indonesia sei hamnasa ita i sira sei dehan: "lihat, kataknya sudah merdeka kok masih nyurut perintah kita. Masa sih, satu orang saja bisa membuat Institusi Negara gempar. Kalau dibiarkan, Negara yang baru merdeka bisa hancur lagi". Que pena Timor.

Maibe, kuandu ita halo didiak refleksaun, hau hare'e katak laos kestaun "justisa" no "perdaun" maka ita diskuti. Iha kazu ida ne'e, kestaun nebe ita koloka maka intervensaun hosi instituisaun ida ba instituisaun seluk, alias - PM no PR la konsulta uluk ho Tribunal hodi liberta milisia nia bo'ot. Ida ne'e maka sai "bahan pokok debat" iha Tribunal, sociedadi civil, Igreja katolika no partidu opozisaun Fretilin.

Ne'e duni, se karik tamba razaun iha leten -alias- intervensaun hosi instituisaun ida ba instituisaun seluk, entaun hau sugere atu PM XG ho PR RH husu deskulpa ba povo Timor, liu-liu ba povo Suai nebe moralmente afektadu ho dezisaun liberta milisia Laksaur nia bo'ot.

Timor Leste nasaun foun presija aprende nafatin ho evolusaun foun. So hanesan ne'e maka ita bele hadia povo Timor nia moris. Ne'e duni, tuir hau nia hanoin, paktu Unidadi Nasional sei importanti no sei iha liu valor du ke Mosaun de Sensura no Eleisaun Antesipada lansada hosi eis-PM Mari Alkatiri.
Agora hili maka ida nebe?

Celso Oliveira

Monday 14 September 2009

Oinsa “perdaun” bele kuda diak iha Timor Lorosa’e?

I.
Iha kualker parti, iha mundu ida ne’e, hafoin tiha funu, laos fasil haruka ema fo’o perdaun ba malun. Liu-liu, obriga vítima funu nian hodi fo’o perdaun ba ema nebe halo sira sai vítima. Iha kazu Timor Leste, tinan 10 ona maka ema Timor sai hosi dominiu Indonesia. Maibe, bele dehan katak to'o ohin loron ema Timor sei kontinua moris ho mentalidadi funu nian: sei iha sentimentu odiu/vingansa, sei iha ran kor ba malun, sei senti injustisa, seluk-seluk tan. Buat sira ne'e hotu tamba, ema bo'ot sira sei kontinua hafahe povo ho sira nia dutrina nebe "kamuflada/ladiak". Ida koalia A, ida seluk koalia B. Ida hakarak hadia, ida seluk buka sobu.

Hau hakarak uza hau nia experiensia rasik hodi koalia konaba “perdaun” iha Timor Lorosa’e. Tamba koalia konaba “perdaun” ou “justisa”, hau prefere uza experiensia rasik hodi nune bele hadia ita nia rain Timor halo didiak. Se karik ita koalia konaba “perdaun” no “justisa” bazeia ba interesse politika, entaun “perdaun” no “justisa” nebe ita defende sei laiha raíz ou baze ida forti iha Timor Leste.

Ita hotu hatene katak, hafoin tiha 1975, funu pertense ema Timor nian. Habadak deit lia fuan katak desde 1975-1999, ema Timor maka terus, mate, mate no mate. Ne’e duni, hau konsidera katak ema Timor oan hotu sai vítima hosi funu iha Timor.

Iha 1975, hau nia aman mate iha Aileu. Ne’e hanesan konsekuensia hosi imaturidadi pilitika lideransa Timor iha tempu neba. To'o ikus, iha hau nia perkursu moris nian, hau hetan edukasaun forti hosi hau nia família katolika konaba “perdaun”. Ne’e duni, iha hau nia moris hau nunka iha odiu ou vingansa iha hau nia laran.

Iha prosessu ba ukun rasik-an, seja UDT nia oan ou Fretilin nia oan, hotu-hotu hakarak deit ukun-an ba rai Timor. I, objektivu politiku nebe ita defende, konsege hetan duni iha 30/08/99.

Ohin loron, Timor Leste hanesan rai independenti ona, hau hakarak hare’e deit atu Timor moris iha HAKMATEK nia laran, atu nune ema ida-idak bele rekupera fila fali oportunidadi no dignidadi nebe sira lakon duranti funu iha Timor.

Iha selebrasaun tinan 10 Referendum, ema barak hakfodak kuandu PR Ramos Horta koalia konaba amnestia geral. Klaru ke kuandu deklarasaun hanesan ne’e monu iha publiku provoka kedas reasaun.

Dia seguinte, imprensas nasionais no internasionais koalia konaba libertasaun milisia Laksaur nia bo’ot. To’o ohin loron, libertasaun ba milisia Laksaur nia bo’ot kontinua provoka reasaun forti hosi fatin barak, inklui ONU i partidu opozisaun Fretilin. Kazu ne’e mós halo PR Ramos Horta ameasa atu husik nia kargu nudar presidenti da republika se karik Parlamentu Nasional la autoriza nia halo vizita ba rai liur. Kazu ne'e mós halo eis-PM Mari Alkatiri koalia konaba eleisaun antesipada.

Atu “perdaun” bele kuda halo diak iha Timor, governu atual presija kria sistema edukasaun básika halo diak (tenki ser diak duni), rekupera vítima funu sira nia moris halo diak ho digna, loke ou harií lapagan kerja halo bara-barak atu nune ema preokupa ho servisu em vez buka malu koalia konaba ódio/funu, fo’o bolsa de estudu ba vítima funu sira nia oan, fo’o oportunidadi igual ba vítima funu nian, fo'o benefisiu igual ba ema hotu-hotu, justisa sosial, no liu-liu Igreja Katolika presija partisipa aktivamente iha formasaun humana iha Timor Leste.

Maibe, ikus-ikus ne’e, hau hare’e ema hotu-hotu sibuk tiha ona ho projektu foun, osan, feto, kargus foun, entaun sira haluha tiha vítima funu sira nia direitu atu moris. Ema só ejiji deit atu vítima sira “fo perdaun” maibe la interesse kria kondisaun diak, digna no saudável ba vítima sira nia moris. Ne’e duni, governu atual tenki kria kondisaun diak iha vida humana, atu nune "lia fuan perdaun" labele sai hanesan dekorasaun deit iha ema Timor nia moris nebe ikus sai hanesan lia fuan defesa ba autor krimi sira. Tamba, perdaun lolos mai hosi ita nia fuan laran rasik, laiha obrigasaun, laiha dekorasi, liu-liu laiha intimidasaun.

Konaba ba “justisa”, hau hanoin “justisa” buat ida laiha rohan, não tem fim, infinito. Basta ita lembra kazu Balibo, ohin loron kontinua halo investigasaun.
***
II.
Ohin loron, grasa hosi liberdadi nebe ita hetan iha tinan sanulu liu bá, ita hotu ho fasilidadi bele tu’ur iha komputador ida nia oin hodi hakerek ou tu’ur iha gabinete diak ida nia laran hodi halo netik servisu oan ruma ba Timor Leste.

Ohin loron, grasa hosi liberdadi nebe ita hetan tinan sanulu liu bá, ho orgulhu ita hare’e ita nia lideransa sira halo selebrasaun ho ema oi-oin hosi nasaun bara-barak. Buat sira ne’e hotu tamba votasaun nebe povu Timor halo iha loron 30 fulan Agostu tinan 1999 liu bá.

Maibe, kuandu ita halo didiak refleksaun konaba liberdadi nebe ita hetan tiha ona, hau iha serteza katak ita hotu sei rekonhese no kontinua rekonhese katak: presu hosi liberdadi ida ne’e laos fasil. Habadak lia fuan, laos fasil ita hetan liberdadi iha loron 30 fulan Agostu tinan 1999 liu bá.

Ida ne’e hanesan refleksaun ida.

Celso Oliveira

Wednesday 9 September 2009

Carta dum amigo...

Caro Celso, não sabe o que chorei ao ouvir o relato dos seus tios, os pais do Uli como carinhosamente lhe chama a família, os seus tios estão conformados com a noticia dada à poucos dias pela equipa de médicos forenses que encontraram as Ossadas do Ulisses numa vala comum, um relato que me emocionou imenso!agora a sua familia só quer enterrar os ossos do Uli com dignidade e encerrar esta pagina trágica da sua vida. Quanto á tua terra, bem faço-te amanhã um relato, o dia foi longo, vou descansar, depois falamos ok?

Um abraço
Mussuaili

Monday 7 September 2009

Timor-Leste: XANANA GUSMÃO DA GUERRILHA À PRESIDÊNCIA


.
Por ABEL COELHO DE MORAIS - Diário de Notícias - 7 de Setembro de 2009

São dez anos que marcaram a radical transformação do território, que passou de antigo domínio colonial português a província indonésia e, finalmente, a nação independente. Figura central deste período é Xanana Gusmão, libertado das prisões de Jacarta a 7 de Setembro de 1999, uma semana após o referendo que abriu caminho ao novo Estado. Filho de luso-timorenses, viveu todas as metamorfoses políticas e sociais por que passou Timor-Leste, vivendo ele próprio várias transformações. Uma década após a libertação do "herói da resistência", Xanana é chefe de um Governo sob o fogo da oposição.

1946-1974

Timor-Leste é um território quase tranquilo na época, mas que terá algumas perturbações internas nos anos 50 e 60. É nesta altura que vão surgir os primeiros grupos partidários da independência.

Uma juventude timorense - A longa marcha do guerrilheiro

Surgem os grupos políticos, estando Xanana associado à Fretilin - que advoga a independência. A situação interna radicaliza-se: é a guerra civil que opõe principalmente Fretilin e UDT, a que se segue a invasão indonésia, em Dezembro de 1975. A Fretilin e parte da população procuram refúgio nas montanhas; principia a longa resistência em que Xanana, após a morte de uma série de dirigentes da Fretilin, entre eles o seu presidente, Nicolau Lobato, acaba por assumir a liderança. "De um grupo de quase 50 mil guerrilheiros, estávamos reduzidos a 700", dirá mais tarde. Nos anos 80, Xanana despartidariza a guerrilha e participa na criação de uma frente política, o Conselho Nacional de Resistência Maubere. O massacre do cemitério de Santa Cruz, a 12 de Novembro de 1991, em Díli, e a captura de Xanana, também na capital timorense, a 20 de Novembro do ano seguinte - num momento em que a guerrilha se encontrava extremamente fragilizada - vão marcar uma nova etapa do conflito. Timor-Leste nunca mais deixará de ser notícia nos media internacionais.

1992-1999

Vista como sério revés para a guerrilha, a detenção de Xanana vai revelar-se importante instrumento na internacionalização do conflito, de que a atribuição do Nobel da Paz assinala novo ciclo.

Dias de Cipinang e do Nobel da Paz

Xanana é transferido para a prisão de Cipinang, em Java. No julgamento, em 1993, é acusado de "perturbação da vida pública em Timor Oriental"; o julgamento é acompanhado, com restrições, pelos media internacionais. Xanana é condenado a prisão perpétua por rebelião, tentativa de secessão (Timor-Leste é então a 27.ª província do país) e posse ilegal de arma. Num momento de crise da guerrilha, Xanana tinha obtido uma importante vitória: garantira a sua sobrevivência e a sua condição de líder da guerrilha num território sob ocupação faz confluir sobre si a atenção de entidades políticas e ONG internacionais. O fim da Guerra Fria marca uma mudança dos EUA perante Jacarta. Timor-Leste é uma questão de direitos humanos e regressa à agenda diplomática com contactos entre Portugal e Indonésia e desta com a resistência. Em 1996, dá-se a atribuição do Nobel da Paz ao bispo Ximenes Belo - a Igreja foi um dos pólos da resistência e um dos factores constitutivos da identidade timorense - e Ramos-Horta, o rosto da resistência no exterior.

1999-2000

Uma relação de solidariedade vai evoluir para uma relação de afecto. O apoio à resistência desenvolve-se em "paralelo" com a vida de Xanana e de Timor-Leste. A primeira primeira dama do novo Estado nasceu na Austrália.

A primeira dama que veio de fora

A época de Cipinang assinala também uma viragem na vida pessoal de Xanana. Conhece a australiana Kirsty Sword em 1994. Esta vai envolver-se no apoio à resistência timorense. A relação culmina no casamento de 7 de Fevereiro de 2000, cerimónia reservada apenas aos familiares do casal e que decorreu nos arredores de Díli. Pouco antes do casamento, Xanana divorciara-se da primeira mulher, Emília. O casal Xanana-Kirsty tem três filhos: Alexandre, Kay Olok e Daniel. Kirsty nasceu em 1966 no estado de Victória, na Austrália, considerando inicialmente uma carreira de bailarina clássica, para estudar depois italiano e indonésio - "em criança, apaixonei-me pela Indonésia", disse uma vez. Mas acabou por se tornar uma figura pública no novo país vizinho, vivendo a sua "vida em paralelo com [a de Xanana Gusmão] e a de Timor-Leste".

Nos últimos anos, em mais de uma ocasião, o casal afirmou-se publicamente cansado da política e na expectativa de uma vida longe das atenções dos media. Tudo indica que este desejo está longe de se concretizar.

1999-2002

A História vive-se a alta velocidade. Apesar da violência inicial das milícias, Timor-Leste escolhe a independência, uma Constituição, um Governo e um Presidente (eleito com mais de 80% dos votos) - tudo em mil dias.

O referendo, a Fretilin e Xanana

A ocupação indonésia entra na fase final. A queda de Suharto, em Maio de 1998, acelera o processo de transição em Timor-Leste. Jacarta aceita a realização de um referendo para a autodeterminação; ao mesmo tempo, é activado um plano de apoio aos sectores integracionistas e são formadas milícias com o objectivo de desestabilizar o processo. O referendo é a 30 de Agosto de 1999 e os resultados são claros: quase 80% dos eleitores querem a independência. A campanha de violência, iniciada antes da votação, atinge o auge - registam-se mais de mil mortos, meio milhão de deslocados e a destruição de quase todas as infra-estruturas do território. Xanana, sob prisão domiciliária em Jacarta, é libertado a 7 de Setembro - momento em que as milícias controlam ainda o território; só regressará em Outubro. A ONU assume a administração em Fevereiro de 2000 e prepara eleições para a Assembleia Constituinte ganhas pela Fretilin; esta vai dirigir o primeiro Governo, dirigido por Mari Alkatiri. As presidenciais de Abril de 2002 são ganhas por Xanana, com 83% dos votos.

2002-2007

Timor-Leste é o mais recente Estado da comunidade internacional: adere à ONU e à CPLP, mas os sinais de crise interna demonstram a sua fragilidade e as tensões entre diferentes forças políticas.

Timor-Leste nasce como Estado a 19 de Maio de 2002. "Queremos ter orgulho em sermos nós próprios, como povo e como nação", dirá Xanana na cerimónia da independência. Como povo e nação, os timorenses têm um longo caminho a percorrer, como desde cedo se torna evidente - no plano interno e internacional. Os anos de Xanana como Presidente vão assistir ao acumular de factores de tensão interna, à normalização das relações com a Austrália, com a delimitação das fronteiras marítimas no Mar de Timor, e o desenvolvimento de uma relação com a Indonésia (apesar do passado), hoje entendida como essencial aos dois países. Mas é a crise de 2006 que vem pôr em causa as palavras de Xanana em 2002 e podem marcar o seu legado político. Uma dura luta política entre Xanana e a Fretilin vai culminar com a saída desta do Governo, a desagregação das forças de segurança com a crise dos peticionários e a chegada de forças internacionais - australianas, neozelandesas, malaias e portuguesas - ao território. Em 2007, Ramos-Horta é eleito Presidente e Xanana lidera Governo de coligação.

2007-2009

Xanana dirige-se a um grupo de revoltosos de 2006, num campo em Díli. Os dois últimos anos assistiram a importantes mudanças em Timor-Leste, entre elas o do próprio estatuto de Xanana.

Resultado das eleições de Junho de 2007, o Governo de Xanana baseia-se numa aliança de formações anti-Fretilin, apesar de o partido ter sido o mais votado. Os posteriores desenvolvimentos políticos assinalam a transformação do "herói da resistência" em mais um actor político, revestido de importantes poderes e influência, mas alvo também de dúvidas e suspeitas. O relacionamento com o revoltoso Alfredo Reinado, as acusações deste, os acontecimentos de 11 de Fevereiro de 2008 (ataques a que Xanana sobrevive incólume), entre outros, afectam a imagem daquele que deteve um estatuto especial na sociedade timorense - "a pessoa mais extraordinária que conheci ao longo da minha vida, e já encontrei muitas extraordinárias" (Ramos-Horta, 2000). Os resultados da formação que dirige (24% do voto e 18 em 65 deputados) são sinal disso. Alvo de críticas da oposição, o seu Governo resolveu algumas das questões na origem da crise de 2006, mas o que está hoje em causa é o legado de Xanana.

Tuesday 1 September 2009

Expressaun Poetika IV

Iha moris ida ne'e, hau hasoru ema barak nebe lakohi koalia konaba sira nia historia iha funu ida ne’e. Historia terrível i susar atu fiar. Mesak historia verdadeira.

Iha moris ida ne'e, hau hasoru ema barak nebe lakohi koalia konaba sira nia historia iha funu ida ne’e, tamba sira dehan katak: "laiha ema ida maka obriga sira atu mete iha funu nia laran".

Se funu ida ne’e ita halo ho interesse atu sai riku ka atu sai bo'ot, entaun ita sei la livre hosi perseguisaun ba ita nia ambisaun rasik.

Uluk sei funu maka ita tauk atu koalia, ohin loron ita labele tauk atu koalia.


Celso Oliveira