My photo
Um escritor, um poeta, um aventureiro,

Wednesday, 1 July 2009

KISAH DOMINGAS DALAM TAHANAN TENTARA

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: ekspos@hotmail.com
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 10/II/18-24 Maret 99
------------------------------

KISAH DOMINGAS DALAM TAHANAN TENTARA

(POLITIK): Domingas, adalah satu di antara ribuan perempuan Timor Timur yang
menjadi korban secara langsung, tindak kekerasan ABRI di Timor Timur pada
masa-masa awal invasi dan luput dari liputan media massa. Setelah keluar
dari LP Tangerang, ia memilih untuk keluar dari Timor Timur. Kini, tinggal
di Potugal bersama anaknya. Tulisan ini merupakan penuturannya, yang disadur
dari buletin Mulheres de Timor yang disiarkan kembali oleh kantor berita
SiaR rubrik ISTIQLAL.

Saya (Domingas) ditahan pada malam 2 September 1983, oleh satu kesatuan dari
Kodim yang berjumlah 9 orang. Kemudian, saya dibawa ke kantor Kodim dan
tanpa melalui suatu pemeriksaan sesuai dengan hukum, paling tidak hukum yang
mereka anut, saya langsung dimasukkan ke dalam sel. Ketika itu saya ditahan
bersama-sama dengan dua orang teman saya yaitu: Domingos Famunuli dan
Feliciano. Kami ditempatkan di suatu ruangan dengan sekat pemisah antara
saya dan mereka berdua. Saya hanya diijinkan untuk keluar beberapa menit
pada pagi hari.Sehingga sebagian besar waktu saya, dihabiskan dalam ruang
sel. Selama dua minggu saya mengalami tekanan psikis maupun fisik yang
sangat berat, terutama dalam proses interogasi. Saya selalu ditanya tentang
berbagai hal menyangkut organisasi, aktivitas saya sehari-hari, tentang
Comandante Xanana dan teman-teman saya. Namun saya tidak mau mengatakan
sesuatupun tentang hal-hal yang mereka inginkan. Dua minggu kemudian saya
dipindahkan ke LP Balide yang dulu lebih dikenal dengan Comarca.

Di Balide, saya ditempatkan bersama lima orang dan saya merupakan
satu-satunya wanita di antara mereka. Kamar itu ukurannya berkecukupan, tapi
lantainya penuh dengan kotoran manusia (tinja dan air kencing) yang hampir
memenuhi semua lantai. Di sini kami tidak pernah diberi kesempatan untuk
keluar ataupun dikunjungi keluarga. Berak, kencing, tidur dan makan pada
tempat yang sama. Kami hampir tidak membedakan siang dan malam, karena yang
nampak bagi kami adalah gelap yang berkepanjangan. Selama waktu itu tangan
kami selalu diikat ke belakang dan hampir tidak bisa digerakkan ataupun
digunakan untuk memegang, menggaruk badan kalau terasa gatal. Kami tidak
pernah mandi dan mencuci bagian-bagian tubuh pengeluaran kotoran selama
sebulan penuh. Anda tentu dapat membayangkan betapa baunya badan kami. Terus
terang kondisi seperti itu sangat menyiksa. Kondisi yang begitu berat
sehingga mempengaruhi juga siklus menstruasi saya. Saya tidak pernah
mengalami haid selama di tahanan. Mungkin semua itu karena beban psikis dan
fisik yang demikian berat. Selain itu, kami hanya diberi makanan yang tidak
bergizi bahkan, seringkali makanan yang sudah rusak (basi dan berjamur). Di
antara kami sering mencret sampai tubuh terasa lemas. Pada saat kami diberi
makan, lebih dulu dipukul dan dicaci maki. Hal demikian berlangsung terus
sepanjang waktu dalam sel. Seringkali kami disebut sebagai komunis. Saya
heran! Menurut cerita mereka, komunis itu tidak berperikemanusiaan, tapi
perlakuan mereka sendiri sangat tidak ber perikemanusiaan.

Saya kemudian dipindahkan lagi ke Centro Benfica do Sporting yang saat ini
menjadi pusat sasana tinju amatir di Dili. Tempat ini dijadikan intel
Indonesia untuk menginterogasi orang-orang yang mereka tangkap. Di sini saya
mengalami stres yang berat karena setiap hari, dari pukul 9 hingga pukul 3
sore selalu dijemur sambil diinterogasi. Selama itu pula ibu jari kaki saya
selalu jadi alas dari kursi yang dipakai oleh para interogator. Meski pun
kaki kiri dan kanan semuanya sudah membengkak dan bernanah, namun mereka
tidak menghiraukannya. Kini kuku dari jari kaki saya sudah rusak semuanya.

Saya sering diinterogasi lebih dari seorang, bahkan kadang kedua kaki saya
menjadi tumpuan dari dua kursi sekaligus. Kadang, sambil bertanya saya
dipukul dan sering pula muka saya ditampar. Makin saya mendapat
perlakuan-perlakuan kasar seperti itu semakin membuat saya membenci mereka
dan saya berjanji dalam hati untuk tidak mengatakan apapun pada mereka. Saya
dihina sebagai wanita yang bau dan sebagainya. Karena merasa jengkel, saya
menjawab bahwa saya memang bau karena selama ini, saya tidak diperbolehkan
untuk mandi. Suatu hal yang menyakitkan dan tidak akan pernah saya lupakan
dalam hidup saya adalah, ketika mereka memaksa saya melepaskan semua pakaian
saya dan kemudian dalam keadaan telanjang, saya difoto. Pada hari berikutnya
mereka menteror dengan foto yang telah secara paksa mereka ambil itu untuk
mengorek informasi dari saya. Mereka memperlihatkan foto itu kepada saya.
tapi karena malu dan jengkel saya kemudian merampas foto itu serta
merobeknya dihadapan mereka.

Saya disidang di pengadilan Dili bulan Desember 1983 melalui suatu
pengadilan rekayasa. Tanpa kehadiran seorang pembela yang saya pilih, tanpa
memberi kesempatan kepada saya untuk melakukan pembelaan, mereka kemudian
memvonis saya sebagai tahanan kriminal.Tidak sebagai tahanan politik. Pada
hari terakhir, jaksa mengatakan saya dijatuhi hukumnan 12 tahun penjara.
Melalui perdebatan antara mereka kemudian saya dijatuhi hukuman 6 tahun.
Setelah vonis itu kemudian saya dibawah ke Comarca sebelum saya dipindahkan
ke Jakarta. Pada 15 Mei 1984 saya diangkut ke LP Tanggerang. Saya dijemput
oleh kepala LP Ny Haryati dan kemudian diisolasi selama dua minggu dalam
satu sel sendirian sebelum dipindah ke Blok Anggrek. Di situ kemudian saya
berkenalan dengan Sundari Abdurachman dan Tati.

Mereka berdua adalah tahanan PKI sedangkan saya disebut sebagai tahanan GPK.
Saya menganggap keduanya seperti Ibu, karena mereka sangat baik dan sering
membimbing saya memasak dan menjahit. Saya berada dalam satu sel dengan
putri saya yang waktu itu baru berumur 2 tahun.
Kedua ibu itu juga yang
mengajarkan bahasa Indonesia kepada saya dan anak saya.

Mereka mungkin masih
di LP Tangerang.
Saya menjalankan masa tahanan tanpa remisi satu tahun pun.

Kini putri saya itu sudah berumur 17 tahun dan dia terus mengingat masa-masa
pahit bersama saya LP Tangerang. (*)

Fonte: http://www.minihub.org/siarlist/msg02263.html




No comments:

Post a Comment