My photo
Um escritor, um poeta, um aventureiro,

Saturday, 31 July 2010

Primeiru Kasamentu Timoroan Realiza iha Peterborough



Stefan no Flavia hanesan primeiru sidadaun Timoroan nebe realiza primeiru kasamentu iha Igreja St. Peter and All Souls, sidadi Peterborough, Inglaterra, iha loron 24 fulan Julho liu bá.

Iha missa nebe dirijidu hosi padre inglês nain rua, padre David no padre Tony, Stefan no Flavia nebe moris iha Peterborough tinan lima ona, iha oan mane ida, halo juramentu hodi moris hanesan lain no fan iha diak no susar laran.

Hotu tiha missa nebe hahu’u hosi tuku 1 to’o tuku 2 lokoraik, Stefan no Flavia ba salaun East Community Centre hodi han-hemu ho sira nia maluk Timoroan to’o loron.

Festa kasamentu hetan animasaun hosi grupu banda Timoroan iha Peterborough, no dekorasaun hosi Ameta Body.

Peterborough hanesan sidadi oan ida iha Inglaterra nebe halibur Timoroan no fo’o garantia ba Timoroan barak hodi buka moris.

Hafoin tiha Timor Leste hetan proklamasaun independensia iha 2002, Timoroan barak husik sira nia rain hodi moris iha Inglaterra.

Atualmente iha kasal 25, labarik 30 no liu klosan 100 nebe moris no servisu iha sidadi Peterborough, Inglaterra.

Celso Oliveira

Thursday, 29 July 2010

Hau Nia Dadolin

Tasi Timor

Iha tempu ukun-an ne'e,
Tasi nia furak, tasi nia malirin, tasi nia manas,
Tasi nia is, tasi nia luan,
Laos atu soe ema Timor.
:D
Iha tempu ukun-an ne'e,
Tasi nia furak, Loro matan tun fatin,
Atu halo Timor sai furak,
Atu halo ema Timor moris haksolok.
;D
Fatin uluk soe ema Timor barak,
Fatin uluk kari ai-funan barak,
Fatin uluk rona halerik barak.
:D
Tasi Timor,
Loro sa'e nian,
Loro Monu nian,
Timor oan nian.

Celso Oliveira

Wednesday, 14 July 2010

Seni Perang Politik Sun Tzu


Oleh: Anwariansyah
Kanal: Opini

Seni  Perang Politik Sun Tzu

Perang tidak pernah bisa dilepaskan dari politik. Dan politik tidak pernah sepi dari perang, paling tidak “perang” antar partai, politikus atau calon legislatif dan presiden. Perang itu dilakukan dalam rangka meraih kesuksesan politik, bisa berupa karir di partai, kedudukan sebagai anggota dewan, sampai jabatan nomor satu di sebuah negara demokrasi, yakni presiden.

Perang pasti memerlukan strategi. Begitu juga dengan “perang” di dunia politik. Selain dibutuhkan kecerdasan, di dunia yang penuh intrik dan taktik ini diperlukan juga strategi-strategi jitu yang efektif. Strategi perang yang baik, bukan hanya akan menghasilkan sebuah kemenangan tetapi juga keselamatan bagi pemenangnya.

Perang adalah sebuah seni bak tarian kuas di atas kanvas sang pelukis. Strategi adalah keras dan lembut kuasan cat, taktik adalah gelap dan terang goresan warna. Kemenangan adalah kepuasan tatapan mata sang pelukis di antara bangkai-bangkai cipratan cat dan bulu-bulu kuas yang berserakan.

Sun Tzu (400 – 320 SM) diyakini sebagai penulis Art of War (Seni Perang) sebuah karya militer klasik tertua dalam literatur Cina. Art of War diperkenalkan di Jepang sekitar tahun 716 – 735 Masehi dan seribu tahun kemudian muncul di Eropa, bertepatan saat bangsa di benua itu memulai suatu serbuan untuk mendominasi dunia.

Berikut ini adalah sebagian isi dari Art of War yang monumental tersebut sebagai pencerahan untuk para politikus dan juga anda yang sekarang sedang “berperang” di bisnis, kantor, organisasi atau di tengah masyarakat.

“Seni perang sangat penting bagi negara.

Ini menyangkut masalah hidup dan mati,

satu jalan (tao) manuju keselamatan

atau kehancuran.”


“Kenalilah musuhmu, kenalilah diri sendiri.

Maka kau bisa berjuang dalam 100 pertempuran

tanpa resiko kalah.

Kenali Bumi, kenali Langit, dan kemenanganmu akan menjadi lengkap.”


“Sang jenderal adalah pelindung negara.

Ketika sang pelindung utuh, tentu negaranya kuat.

Kalau sang pelindung cacat, tentu negaranya lemah.”


“Kemungkinan menang terletak pada serangan.

Mereka yang menduduki medan pertempurannya lebih

dulu dan menantikan musuhnya, akan memperoleh kemenangan.”


“Mengetahui kapan seseorang dapat

dan tidak dapat bertempur

adalah kemenangan.”


“Mengetahui menggunakan

yang banyak dan yang sedikit

adalah kemenangan.”


“Atasan dan bawahan

yang menginginkan hasrat yang sama

adalah kemenangan.”


“Bersikap siap dan menunggu musuh tidak siap

adalah kemenangan.”


“Militer yang menang

sudah menang lebih dulu, baru bertempur.

Militer yang kalah bertempur dulu,

baru mencari kemenangan.”


“Melawan yang banyak

sama seperti melawan yang sedikit.

Itu hanya soal bentuk dan nama.”


“Kejarlah rancangan-rancangan strategis

untuk membuat musuh takjub.

Maka kau bisa merebut kota-kota musuh

dan menggulingkan negaranya.”


“Untuk menyerang dan pasti merebutnya

seranglah di mana mereka tidak bertahan.”


“Untuk bertahan dan pasti tetap teguh,

bertahanlah di mana mereka pasti menyerang.”


“Demikianlah kalau seseorang terampil menyerang,

musuh tidak tahu di mana ia harus bertahan.

Kalau seseorang terampil bertahan,

musuh tidak tahu di mana ia harus menyerang.”


“Jenderal yang terampil akan membentuk lawannya,

sementara ia sendiri tanpa bentuk.”


Bagi seorang jenderal ada lima bahaya –

Bertekad mati, ia bisa tewas.

Bertekad hidup, ia bisa tertangkap.

Cepat marah, ia bisa dihasut.

Murni dan jujur, ia bisa dipermalukan.

Mengasihi orang banyak, ia bisa dibuat jengkel.

Kelimanya adalah bencana dalam militer.”


“Gunakan keteraturan

untuk menantikan kekacauan.

Gunakan ketenangan

untuk menantikan kebisingan,

inilah yang dimaksud dengan

mengatur hati dan pikiran.”


“Buatlah jalan mereka memutar.

Dan pancinglah mereka dengan keuntungan.”


“Ketika serangan elang meremukkan tubuh

mangsanya, itu adalah berkat waktunya (timing).

Waktu adalah serupa dengan ditariknya pelatuk.”


“Jangan ulangi cara-cara meraih kemenangan.”

“Komandan yang andal dalam perang

meningkatkan pengaruh moral

dan patuh kepada hukum serta peraturan.

Demikianlah ia berkuasa mengendalikan sukses.”


“Adalah urusan seorang jenderal

untuk tidak banyak bicara,

sehingga lebih dapat menyimak.”


“Seorang jenderal mewakili nilai-nilai kebaikan

dari kebijaksanaan, ketulusan, kemurahan hati,

keberanian, dan kedisiplinan.”


“Bersekutulah dengan negara tetangga

di daerah perbatasan.”


“Meraih 100 kemenangan dalam 100 pertempuran

bukanlah puncak keterampilan. Menaklukkan musuh

tanpa bertempurlah kesempurnaan tertinggi.”


“Mata-mata merupakan elemen penting dalam perang,

karena di pundak mereka bergantung kemampuan

pasukan untuk bergerak.”


“Rahasia dari tipu daya adalah mengetahui

bagaimana memanipulasi pandangan musuh.

Membuat yang jauh kelihatan dekat,

dan yang dekat kelihatan jauh.”


“Jenderal yang baik menghindari musuh

yang semangatnya tinggi. Ia menyerang musuh

pada saat mereka lelah.”


“Kunci memenangkan pertempuran

adalah memahami maksud musuh.

Konsentrasikan kekuatan di satu arah.

Tempuhlah jarak seribu li, dan

bunuhlah jenderalnya.”


“Ada enam kesalahan yang bisa menyebabkan kekalahan;

yaitu pengkhianatan, ketidakpatuhan, kesia-siaan,

ketergesa-gesaan, kekacauan, dan kekurangmampuan.”


“Kemiliteran adalah tao penyesatan.

Ketika dekat, wujudkan seolah-olah jauh.

Ketika jauh, wujudkan seolah-olah dekat.

Demikianlah ketika ia mencari keuntungan, pancinglah ia.”


“Keunggulan tertinggi adalah kemampuan menembus

pertahanan musuh tanpa harus berperang.

Pejuang terhebat adalah yang mampu menekan musuh

untuk menyerah tanpa perlawanan.”

Sumber isi tulisan : Art of War (Seni Perang) Sun Tzu

Sumber gambar : http://www.booksshouldbefree.com/images/big/45.jpg

Fonte: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=13526

Monday, 5 July 2010

My poem

The Water

The beautiful nature that I deny.
The consciences of my soul that I deny.
But I can't deny that the water in a bottle or a cup
can quench my thirst.

The water that kills my thirst.
The nature that inspires my conscience.
On a beautiful morning it fills with a prayer, a poem, a reading and conversation.

The water that kills my hate.
The water that brings me happiness and peace in my heart.
The water that comes from nature.
And I grow with my conscience.


Celso Oliveira

Rui Cinatti, Poeta de Timor






:: Biografia ::


Ruy Cinatti Vaz Monteiro Gomes nasceu em Londres, a 18 de Março de 1915. Filho de Herminia Cinatti , filha única do cônsul português em Londres, Demétrio Cinatti, e de António Vaz Monteiro Gomes, dez anos mais novo que Hermínia. Esta tinha trinta e seis anos quando casou. Morreu com trinta e nove anos, a 2 de Abril de 1917. Ruy tinha apenas dois. Em 1941, Ruy Cinatti dedica-lhe o seu primeiro livro de poemas entitulado Nós Não Somos deste Mundo. Viveu em Lisboa desde os dois anos de idade, cidade onde se formaria em Agronomia, curso que concluiu em 1943, terminando quase dez anos de vida universitária. Faltava-lhe, no entanto, apresentar uma dissertação final, que lhe daria direito ao título de engenheiro-agrónomo e silvicultor. Em 1942 lança a revista Aventura. Em 1946 parte para Timor, na sequência de um convite para ocupar as funções de secretário e chefe de gabinete do recém nomeado governador para Timor, o capitão Óscar Ruas. Chega a Timor a 27 de Julho. Percorre a ilha em viagens de reconhecimento com o novo governador, tendo o primeiro contacto com a beleza da ilha que o apaixona, e por outro lado contactando com os estragos causados invasão japonesa, que tinha sujeitado Timor às mais dificeis condições e que finalmente num acto de fúria ao abandonar a ilha tinha destruido casa, florestas, manadas, etc. Inicia um estudo metódico e interdisciplinar do território, na sequência da leitura da obra de Osório de Castro, que afirma «Hoje, a obra de colonização ou é cientifica ou não é nada.» Surgem-lhe ideias sobre quais os tipos de relações que a administração portuguesa deveria manter com os timorenses e que se deveriam basear numa compreensão da cultura dos últimos. Entretanto teria sido professor de desenho no colégio de Lahane. Recolhe espécies vegetais raras- duas das quais recebem na Holanda o seu nome. Em Outubro de 1947 tem o seu trabalho de recolha concluído e em Dezembro regressa a Lisboa. «Timor prendeu-me com cadeias de ferro (...)» Em 1951 regressa a Timor novamente, como chefe dos Serviços de Agricultura do Governo de Timor, nesta altura administrado pelo governador Serpa Rosa. É aqui que compõe o poema inicial do livro O Nómada Meu Amigo. Durante este tempo pronuncia-se revoltado contra o governo a despeito da proibição do uso da lipa dentro dos limites administrativos de Dili. Prossegue as suas pesquisas por conta própria. É neta segunda estadia que pensa na possibilidade de tirar outro curso. Tendo problemas com a administração colonial, regressa a Portugal, parando antes em Goa. Estudou Antropologia Social em Oxford, e durante dois anos foi metereologista aeronáutico. Em 1961 regressa a Timor. Livre de questões burocráticas viaja pelo território livremente. É o futuro de Timor que lhe interessa salvaguardar. Os seus motivos são uma profunda amizade que sente pelos timorenses, denuncia os abusos feitos pelos europeus em termos de delapidação do património. Faz um juramento de sangue com dois liurais, D. Armando Barreto, liurai de Ai Assa e D. Adelino Ximénes, liurai de Loré, permitindo-lhe isto acesso a segredos como a existência de pinturas rupestres ocultas. Socialmente Timor vive tempos agitados e Ruy Cinatti adverte para uma mudança social «do tipo radical ou estrutural». O contacto com os timorenses facilitaria-lhe a compreensão do que se passava. Cinatti regressa a Lisboa com este quadro preocupante em mente, em 1962. Em 1964, no Brevíssimo Tratado da Província de Timor sugere a ameaça de uma frente de luta armada, em Timor. Naturalmente, isto seria muito mal acolhido pelo governo de Lisboa. Em 1966 regressa outra vez a Timor, sendo esta a última vez que regressaria aquele território. É proibido de ali voltar. Em 1974 vê recusado o seu pedido de visto para visitar Timor. Em Paisagens Timorenses com Vultos adverte para o risco da sua invasão. O fascínio pelo Oriente e pelas paisagens de Timor. A solidariedade pelo povo timorense que evolui até ao «rebentar por uma causa em que acredito», como diria numa carta dirigida a Jorge Sena, datada de 13 de Outubro de 1962. A apreciação da riqueza do homem encontrada na diversidade de culturas. A visão de um desenvolvimento integrado visando o bem-estar das populações, sendo elas próprias as autoras do seu progresso. O respeito pelo equilíbrio entre o Homem e a Terra. O confronto consigo próprio e com as suas inseguranças e carências afectivas. A experiência do fracasso profissional. A insensibilidade do poder à ética, à ciência e à técnica. Finalmente, a fé. Foram estes factores que condicionaram toda a vida de Ruy Cinatti a partir da sua primeira viagem e estadia em Timor. Poeta, agrónomo, antropólogo,. Dotado de um dom natural para comunicar em poesia, chega à antropologia pela sua capacidade de amar a Terra, o Homem e Deus. Levado a Timor pela sua profissão, cedo descobre os timorenses. O respeito e o amor por este povo fariam dele um antropólogo. Em 1985 reformou-se do Instituto de Investigação Cientifica Tropical. Morre a 12 de Outubro de 1986.

http://www.cerit.org/